Banda Aceh (Pelita Aceh.co.id) – Di tengah situasi keuangan yang kian tercekik, Pemerintah Kota Banda Aceh justru meluncurkan kebijakan-kebijakan kontroversial yang mengundang gelombang kritik. Pembangunan kota mandek, beban utang melonjak, namun anggaran untuk pencitraan dan gaya hidup elite tetap mengalir deras. Sebuah ironi kota yang tampak “baik-baik saja” di permukaan, namun rapuh di dalam.
Salah satu simbol paling mencolok dari kemewahan yang tak sepadan dengan kondisi keuangan daerah adalah pengadaan kendaraan dinas mewah awal tahun ini. Empat unit mobil baru—satu Toyota Land Cruiser VX-R seharga sekitar Rp2,1 miliar, dan tiga Ford Everest Titanium masing-masing senilai Rp1,3 miliar—telah diserahkan kepada jajaran pejabat tinggi Pemko Banda Aceh. Total belanja kendaraan itu menembus Rp6 miliar lebih, direalisasikan justru saat kas daerah dikabarkan defisit.
Data fiskal menunjukkan bahwa rasio utang Pemko Banda Aceh telah menyentuh lebih dari 60% dari total pendapatan tahunan. Di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD) terus mengalami penurunan kontribusi, membuat ketergantungan terhadap dana transfer pusat kian besar. Namun, belanja untuk keperluan pencitraan justru meningkat drastis dalam tiga tahun terakhir.
Setiap tahun, lebih dari Rp10 miliar dialokasikan untuk keperluan publikasi, mulai dari pemasangan advertorial di media massa, baliho citra kepala daerah, produksi video promosi, hingga kampanye media sosial. Namun, dampaknya dinilai minim terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kehadiran mobil dinas mewah menjadi sorotan paling tajam. Selain digunakan dalam aktivitas seremonial dan operasional pejabat, mobil-mobil itu dianggap sebagai simbol pemisah antara elite dan rakyat. Seorang warga di kawasan Peunayong menyebut, “Kita diminta hemat air dan listrik, tapi pejabat jalan-jalan pakai Land Cruiser. Sakit hati lihatnya.”
Mobil asal Amerika seperti Ford juga menimbulkan sindiran politis tersendiri. “Mulut kutuk Israel, tapi kaki naik kendaraan made in USA,” kata seorang mahasiswa yang ikut mengkritik, Kamis, 12 April 2025.
Sementara mobil-mobil dinas baru melaju di jalan aspal kota, proyek infrastruktur di pinggiran kota stagnan. Rehabilitasi sekolah terbengkalai, drainase rusak, jembatan tak selesai, dan layanan dasar seperti air bersih dan sanitasi masih menjadi keluhan warga.
Dalam dokumen internal yang didapatkan tim investigasi, disebutkan bahwa lebih dari 20 proyek pembangunan ditunda atau dibatalkan sejak 2023 karena keterbatasan kas. Ironisnya, pengeluaran untuk publikasi dan pencitraan tetap diserap 100 persen.
Masyarakat sipil, LSM anggaran, dan pengamat kebijakan keuangan publik kini mendorong dilakukannya audit total terhadap penggunaan anggaran daerah, terutama untuk pos pengadaan kendaraan dan belanja media. Mereka mendesak agar pemerintah membuka detail kontrak pengadaan kendaraan dan proyek media, menghentikan belanja pencitraan yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik, serta menyusun ulang prioritas pembangunan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Kota ini tak butuh lebih banyak baliho. Banda Aceh membutuhkan infrastruktur yang berfungsi, layanan publik yang hadir di gampong-gampong, dan pejabat yang hidup sewajarnya. Selama citra terus diutamakan dan kenyataan ditutup-tutupi, rakyat akan terus menanggung beban dari gaya hidup elite yang tak peduli realita.
Investigasi ini akan terus berlanjut untuk menelusuri lebih dalam jejak anggaran, jaringan pelaksana proyek pencitraan, serta potensi konflik kepentingan yang terjadi di balik layar. (Tim Investigasi)