Direktur di Atas Kertas, Redaktur di Balik Anggaran

 

Laporan Investigasi oleh Eri Iskandar |  Aceh, April 2025

Sekolah Menulis Kajian Media, SMKM (DeRE-Atjeh)

“Aku pemred. Direktur istri. Biar aman.”

Pernyataan itu terlontar begitu saja dari seorang pria berinisial MJ, wartawan bersertifikat yang kini memimpin salah satu dari ratusan media daring yang bermunculan menjelang pembahasan anggaran publikasi pemerintah. Kalimatnya singkat dan tanpa tedeng aling-aling. Ia tidak sedang bergurau. Ia menjelaskan sistem yang diam-diam telah menjadi rahasia umum.

MJ bukan satu-satunya. Di belakangnya ada banyak kolega satu sertifikasi, satu jaringan, Tim dan satu taktik. Mereka membentuk perusahaan pers dengan struktur formal—ada pemimpin redaksi, editor, kontributor, hingga direktur—tetapi semuanya hanya hidup di atas kertas. Portalnya aktif, namun miskin konten. Kantor terdaftar, tapi tidak pernah beroperasi. Aktivitas redaksi mereka nyaris nihil, sementara agenda utama yang mereka jalankan adalah menebar surat penawaran pemasangan iklan, meneken kontrak kerja sama publikasi, dan—bila perlu—melobi pokir anggota dewan. Menawarkan per.se.kot sebagai panjar tanda jadi.

“Berita? Tinggal comot dari rilis,” kata MJ saat ditemui pada 3 April 2025.

“Kalau tak ada kerja sama, ya biarkan situs kosong. Fokus kami bukan di situ.” Ia bicara dengan tenang, seolah menjelaskan rutinitas. Di tangannya tergenggam map berisi proposal, kuitansi kosong, stempel, meterai  dan daftar instansi target.

Fenomena ini mencerminkan praktik sistematis: sejumlah oknum wartawan yang dulunya idealis, kini justru memanfaatkan sertifikat kompetensinya untuk membentuk media fiktif. Bukan untuk menjalankan fungsi pers, tetapi untuk mengakses dana publikasi pemerintah. Mereka bersaing bukan dengan kualitas liputan, tetapi dengan kelengkapan administratif dan pendekatan personal ke pejabat anggaran.

“Yang penting domain aktif, SK Kemenkumham ada, akta notaris lengkap. Kalau bisa langsung daftar sebagai mitra dinas,” ujar seorang pengelola media daring di Aceh Utara pada 4 April 2025.

 

“Berita bisa belakangan.”

 

Posisi direktur dalam media semacam ini sering kali diisi oleh istri atau kerabat, sekadar untuk memenuhi syarat formil. “Dia cuma tanda tangan,” ujar MJ sambil terkekeh. “Kalau ada masalah, ya urusan nanti.”

Pola semacam ini bukan fenomena baru, dan bukan hanya terjadi di Aceh. Seorang sumber dari lingkungan pemerintah provinsi menyebut, “Kita semua tahu bagaimana permainan oknum yang saban hari ngaku wartawan, tapi kerjanya cuma setor penawaran, minta tayang pariwara, dan lobi pokir.” (6 April 2025). Sumber itu menyatakan, dalam beberapa kasus, wartawan semacam ini bahkan tidak segan membuka harga publikasi seperti jual beli biasa. “Paket full tayang bisa ditawar. Ada diskon juga kalau pejabatnya kenal dekat,” katanya.

Celakanya, sebagian organisasi perusahaan pers justru memilih diam. Salah seorang ketua organisasi perusahaan pers di Aceh, saat diminta komentarnya, justru mengelak. “Jangan tanya saya. Tak enak sama kawan-kawan. Lagi pula itu urusan wartawan, tanya aja sama Dewan Pers atau organisasi wartawan,” ujarnya, 5 April 2025. Ia menolak disebutkan namanya dalam pemberitaan.

Sikap bungkam itu memperkuat kesan bahwa praktik busuk ini semacam dibiarkan, bahkan dilindungi. Para pelakunya tidak malu-malu menunjukkan struktur perusahaan mereka yang rapi secara administratif, namun kosong secara etika dan produktivitas. Mereka tidak bekerja sebagai jurnalis, tapi sebagai pengelola dokumen dan pencetak proposal. Ketika media menjelma koperasi keluarga, dan wartawan berubah menjadi makelar pariwara, yang hilang adalah kepercayaan publik terhadap pers.

Menurut Dr. Asrinaldi, pengamat media dari Universitas Andalas, kerusakan semacam ini harus segera ditangani secara sistemik. “Kemerdekaan pers adalah syarat utama demokrasi. Jika media dipakai untuk mengejar keuntungan pribadi, fungsi kontrolnya hilang,” ujarnya pada 2 April 2025. Ia menyarankan agar Dewan Pers meninjau ulang mekanisme pemberian sertifikat kompetensi serta mendorong organisasi pers untuk bertindak lebih tegas terhadap anggotanya yang menyimpang. “Jika sudah tahu melanggar etik, ya harus dicabut kompetensinya. Jangan dibiarkan berkeliaran membawa nama pers,” tegasnya.

Data dari Dewan Pers menunjukkan lonjakan jumlah perusahaan media sejak diberlakukannya uji kompetensi dan sistem verifikasi. Tahun 2020 mencatat lebih dari 43 ribu media daring di Indonesia, namun hanya sebagian kecil yang menjalankan tugas jurnalistik secara utuh. Sisanya, kata Asrinaldi, adalah “domain-domain kosong yang lebih sibuk mencetak kuitansi, fotocopy rekening perusahaan daripada menulis berita.”

Di Aceh, dalam satu tahun anggaran saja, puluhan media baru mendadak muncul. Mereka lahir seiring pembukaan tender publikasi dan menghilang begitu anggaran selesai. Tak ada investigasi, tak ada laporan mendalam. Yang tersisa hanyalah parade berita rilis dan iklan bergaya liputan.

Kini publik tak lagi dapat membedakan mana media sungguhan dan mana media semu. Dan ironisnya, yang paling keras mengaku ‘kompeten’ justru yang paling lihai berdagang pariwara. Jika hal ini dibiarkan, demokrasi lokal akan terus dikooptasi oleh jaringan pers rente—yang lebih sibuk melobi dana pokir daripada membongkar korupsi. “Mereka seperti keberatan mendukung Komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam membasmi korupsi.

Saat wartawan lebih sering duduk di meja kontrak dan warung kopi daripada di ruang redaksi, maka yang rusak bukan cuma profesi. Yang dirampas adalah hak publik atas informasi yang jujur dan merdeka. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *