Oknum Wartawan UKW Jadi Sales Iklan, Dewan Pers Diam?

Foto: Ilustrasi

Filsafat dan Kegunaan Media 

Oleh : Eri Iskandar SMKM (DeRE-Atjeh)

Pelita Aceh.co.id | Banda Aceh – Sertifikasi kompetensi wartawan yang semestinya menjadi tolok ukur profesionalisme dan etika jurnalistik, kini justru digunakan sejumlah oknum sebagai tameng untuk menjual jasa publikasi kepada instansi pemerintah, perusahaan swasta, kontraktor, BUMN, BUMD, hingga bank-bank lokal. Alih-alih memburu kebenaran dan informasi penting bagi publik, sebagian dari mereka beralih menjadi sales iklan berkedok wartawan.

Praktik ini bukan baru, tapi kian terang-terangan. Beberapa di antara mereka datang membawa surat penawaran kerja sama publikasi, menawarkan space advertorial, atau menyodorkan penagihan iklan. Sebagian menggunakan nama media yang tidak aktif atau tidak memiliki struktur redaksi yang jelas. Lebih mencengangkan, mereka menyebut-nyebut sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai bukti legalitas mereka untuk melakukan transaksi tersebut.

Seorang pejabat humas mengaku kerap ditelepon oleh oknum yang mengaku wartawan tersertifikasi, namun tidak pernah sekalipun menanyakan konfirmasi atau wawancara berita.

“Langsung bicara anggaran, langsung tawarkan space liputan berbayar. Kalau kita tak respon, kadang mereka kirim link berita yang menyudutkan. Itu pun bukan hasil wawancara langsung,” katanya.

Pejabat lainnya menambahkan bahwa para oknum ini kadang hanya mengirim screenshot logo media dan kartu identitas, mengklaim punya akses ke redaksi nasional.

Pola ini terulang di banyak tempat. Nama-nama yang disebut—dari inisial Z dan N. Lain daripada itu, B, D, DR, dan S, hingga A, T, AN, HS, IJN, dan N —muncul berulang dalam laporan informal berbagai instansi. Bahkan ada oknum yang diketahui sudah lama tidak aktif menulis berita, tapi masih aktif mendatangi dinas, bank, dan kontraktor untuk menagih iklan bulanan.

Fakta lain yang mencuat, jumlah pelaku di lapangan jauh lebih banyak dari nama-nama yang selama ini beredar. Di luar nama-nama itu, ada deretan individu lain yang menjalankan pola serupa, bahkan beberapa di antaranya merupakan pengurus organisasi kewartawanan.

Ketua-ketua organisasi yang seharusnya menjadi penjaga etika profesi justru terlibat aktif dalam kerja-kerja pencarian iklan. Inisial seperti J, N, Syt, dan lainnya disebut secara konsisten oleh narasumber berbeda, menunjukkan bahwa praktik ini telah menjadi kelaziman tersendiri. Bagi sebagian orang, jabatan organisasi justru menjadi legitimasi untuk menjalin jejaring bisnis yang menyamar sebagai kerja jurnalistik.

Salah satu tokoh media senior menyebut fenomena ini sebagai degradasi profesi akibat tidak adanya pemisahan tegas antara kerja redaksi dan kepentingan bisnis. “Wartawan itu seharusnya menjaga jarak dari anggaran. Begitu dia ikut dalam urusan iklan dan penawaran, dia sudah tidak independen,” ujarnya.

Dalam investigasi ini terungkap bahwa sebagian besar pelaku justru membanggakan status UKW mereka untuk mengintimidasi pihak-pihak yang mereka dekati. “Ada yang menyebut dirinya wartawan, lalu menunjukkan kartu dan langsung ajukan penawaran kerja sama. UKW bukan untuk cari berita, tapi supaya gampang cari uang,” ujar seorang pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten.

Seorang pemerhati pers di Aceh menegaskan pentingnya audit menyeluruh terhadap para pemegang sertifikat UKW yang tidak aktif menjalankan kerja jurnalistik. Ia mendesak agar Dewan Pers dan lembaga penguji melakukan pengawasan nyata di lapangan, bukan hanya menilai dari portofolio saat ujian. “Pisahkan yang betul-betul wartawan dari mereka yang menjadikan UKW sebagai dagangan,” katanya.

Pandangan serupa datang dari tokoh media lain yang juga memahami prinsip halal-haram dalam kehidupan sosial. Menurutnya, penyalahgunaan profesi wartawan untuk kepentingan ekonomi pribadi tergolong sebagai kejahatan moral dan sosial.

“Mereka pakai profesi wartawan untuk memaksa, menekan, atau menggiring opini demi keuntungan pribadi. Uang yang diperoleh dari cara seperti ini tidak halal. Bahkan bisa dikategorikan sebagai pemerasan dalam hukum pidana,” ujarnya.

Praktik ini tidak hanya menyasar instansi pemerintah, tapi juga lembaga swasta, perbankan, dan perusahaan-perusahaan kontraktor. Kepala cabang sebuah BUMN di Banda Aceh mengaku sering menerima surat penawaran dari media yang tidak ia kenal, lengkap dengan invoice, tapi tanpa pernah ada kerja sama resmi.

“Kalau kami tidak tanggapi, mereka cari celah untuk menyerang lewat pemberitaan yang tidak berimbang,” katanya.

Dewan Pers sendiri sebelumnya telah memperingatkan agar wartawan menjaga independensi dan memisahkan fungsi redaksi dengan urusan bisnis. Ninik Rahayu, dalam kapasitasnya sebagai ketua Dewan Pers saat itu, menegaskan bahwa pemisahan editorial dan komersial adalah prinsip dasar profesionalisme. Namun peringatan itu tak banyak bergema di lapangan.

Kini, desakan agar lembaga uji, organisasi profesi, dan Dewan Pers menindak tegas oknum-oknum tersebut semakin kuat. Bukan semata untuk menyelamatkan nama baik profesi, tapi juga untuk menjaga kepercayaan publik terhadap media.

“Jika wartawan berubah menjadi sales, maka siapa yang akan jadi penjaga kebenaran?” ujar tokoh media itu retoris. (Tim Investigasi)

Disclaimer: Tulisan ini adalah karya naratif berbasis isu aktual dan fenomena etis dalam dunia jurnalistik. Segala kemiripan dengan individu atau peristiwa nyata hanyalah kebetulan semata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *