Bos Organisasi Pers Bukan Pawang Iklan, Apalagi Cosplayer Profesi!

Ilustrasi

 

Oleh: Ery Iskandar/Pengamat Pers

Di negeri yang penuh semangat dan seragam ini, organisasi pers semakin terbelah antara yang menjaga idealisme dan yang tergoda oleh anggaran publikasi.

Dulu, kita kira bos organisasi pers itu pembina profesi yang sejati. Sekarang, banyak yang malah jadi pawang iklan, tukang lobi, bahkan duta besar tak resmi untuk proposal publikasi.

Tugas bos organisasi pers bukan untuk membina rekening lembaga sendiri, tapi untuk membina kualitas profesi dan anggota.

Namun lihat sekarang: ketua-ketua organisasi yang seharusnya jadi mentor profesionalisme, malah sibuk ngatur kuota tayang. Bukannya mengayomi anggota, mereka lebih tertarik rebutan anggaran publikasi, lengkap dengan MoU yang disertai amplop.

Yang lebih menggelikan lagi: ada fenomena ‘seragam serba guna’.

Kalau pakai baju organisasi perusahaan pers, tolong jangan turun liputan! Apalagi ikut jumpa pers di kantor polisi. Mau jadi wartawan, pengurus, atau pengamat hukum visual? Itu seragam buat urusan perusahaan, bukan investigasi. Jangan bikin bingung publik!

Sebaliknya, kalau pakai baju kebanggaan organisasi jurnalis, jangan bawa proposal dan surat penagihan iklan! Itu seragam untuk menjaga kemerdekaan pers, bukan alat untuk negosiasi pencairan dana publikasi.

Logo organisasi jurnalis itu bukan barcode amplop!
Dan logo organisasi perusahaan pers itu bukan badge liputan dadakan.

Ada yang lebih absurd lagi: pengurus organisasi perusahaan pers ikut konferensi pers soal penyalahgunaan jabatan, padahal dia sendiri sedang ‘menyalahgunakan jabatan’ organisasinya untuk ‘ngurus slot berita’. Itu namanya meta-ironi, Bung! Investigasi pakai seragam lembaga yang sedang disorot. Kalau ini bukan skenario film parodi, kita nggak tahu lagi.

Lalu pertanyaannya: organisasi ini mau bawa kita ke mana?

Seharusnya, organisasi jurnalis fokus pada kode etik, advokasi hukum, dan pendidikan media literasi.
Sedangkan organisasi perusahaan pers mengurus standar manajemen, bisnis model sehat, dan pengembangan teknologi distribusi.

Tapi kalau dua-duanya sibuk rebutan iklan dan anggaran, siapa yang jaga marwah profesi?

Bro… ini bukan soal anti iklan, tapi soal menjaga batas profesional.
Jika semua orang dalam organisasi sibuk mencari celah duit, siapa yang jaga martabat profesi?

Kalau pengurusnya multitugas—pagi pelatihan kode etik, siang MoU, malam kirim invoice—besok-besok kita butuh Dewan Etik buat organisasi, bukan buat wartawan lagi.

Mari kita sepakati:

1. Bos organisasi pers bukan pawang iklan.

2. Seragam organisasi bukan jimat sakti.

3. Proposal bukan aktivitas pokok lembaga.

4. Jangan cosplay jadi wartawan lapangan kalau posisi ente itu direktur perusahaan pers!

5. Dan tolong, jangan jadi duta iklan saat baju ente penuh badge organisasi jurnalis.

 

Karena kalau begini terus, jangan salahkan publik kalau akhirnya menganggap media itu bukan pilar demokrasi—tapi pilar amplop anggaran publikasi.

Dan kalau semua sudah bingung…
Silakan bikin organisasi baru aja, namanya: Persatuan Seragam Multifungsi Indonesia. Motto: “Satu Baju, Seribu Fungsi.” (*)

 

Disclaimer: Tulisan ini adalah karya naratif berbasis isu aktual dan fenomena etis dalam dunia jurnalistik. Segala kemiripan dengan individu atau peristiwa nyata hanyalah kebetulan semata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *