Parade Ucapan, Proposal Wartawan, dan Dinas yang Tertekan

 

Oleh Erry Iskandar
Pengamat Pers dan Media*

Setiap momen seremonial pemerintahan kini seperti alarm bagi banyak dinas: bukan hanya untuk mempersiapkan acara resmi, tapi juga menghadapi gelombang proposal iklan dari media. Tak sedikit yang datang dibawa oleh oknum yang mengaku wartawan, baik yang bersertifikat maupun tidak, menawarkan ucapan selamat dalam bentuk iklan berbayar. Fenomena ini terus berlangsung dan kian menjadi pola.

“Baru pagi masuk kerja, sudah ada yang datang bawa map isi proposal. Katanya dari media lokal, minta pasang ucapan HUT provinsi,” ujar seorang pejabat humas di Aceh. “Kalau ditolak, dua hari kemudian mulai ada yang konfirmasi soal proyek, bahkan minta wawancara khusus soal isu-isu sensitif.”

Inilah yang kini mengganggu relasi antara media dan pemerintah. Proposal demi proposal datang dalam jumlah masif, didorong oleh media yang tak dikenal dan tak punya rekam jejak pemberitaan aktif. Media tersebut hanya muncul saat ada peluang iklan—tak memiliki kantor, redaksi, ataupun aktivitas jurnalistik yang dapat diverifikasi.

Persaingan Proposal, Bukan Liputan

Alih-alih bersaing dalam kualitas liputan, sebagian wartawan hari ini malah bersaing dalam jaringan proposal. Banyak dari mereka mendirikan media atas nama sendiri—berperan ganda sebagai direktur, redaktur, hingga staf pemasaran. Struktur hanya di atas kertas, tak ada aktivitas jurnalistik yang nyata.

Situasi ini menempatkan dinas-dinas dalam posisi yang sulit. Mereka menjadi sasaran tekanan halus. Jika tidak mengalokasikan anggaran untuk iklan ucapan, mereka dihadapkan pada potensi pemberitaan miring yang bisa muncul sewaktu-waktu.

“Kami tidak anti pers,” kata seorang kepala dinas di Aceh Besar. “Tapi kalau fungsinya berubah dari kontrol sosial menjadi tekanan anggaran, kami harus hati-hati.”

Diamnya Organisasi, Lunturnya Etika

Yang lebih mengejutkan, organisasi-organisasi pers di daerah nyaris tidak mengambil sikap. Tak ada pernyataan keras, tak ada upaya korektif. Dalam beberapa kasus, justru mereka ikut serta dalam skema yang sama—menjadi pelindung, bahkan perantara dalam distribusi proposal.

Hal ini memperburuk citra pers. Di mata pemerintah, media kini tak ubahnya pemalak berkedok jurnalistik. Di mata publik, wartawan kehilangan wibawa sebagai penyambung suara rakyat. Sementara wartawan profesional yang bekerja sesuai etika sering kali terpinggirkan, kalah oleh praktik-praktik licik yang menyusup lewat jalur informal.

Di Ujung Sumbu: Kepercayaan Publik

Persoalan ini bukan sekadar soal iklan. Ini soal integritas profesi dan kepercayaan publik terhadap media. Jika tidak ada pembenahan dari dalam, publik akan terus melihat pers dengan kacamata sinis. Sebagian bahkan mulai bersuara lantang: jika Dewan Pers tidak bisa bersikap tegas, maka sudah waktunya negara hadir melalui aparat hukum—termasuk TNI dan Polri—untuk menertibkan praktik jurnalisme semu yang makin tak terkendali.

Apa yang kita saksikan hari ini adalah degradasi makna profesi. Ketika ruang redaksi diubah jadi ruang tagih, dan ruang wawancara menjadi ruang tawar-menawar, maka yang hilang bukan hanya berita—melainkan marwah pers itu sendiri.

Sudah saatnya organisasi pers dan lembaga pengawas mengambil langkah nyata. Menindak, membersihkan, dan menegaskan ulang bahwa wartawan adalah profesi terhormat, bukan pelaku proyek musiman. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *