Asosiasi Jurnalis Tolak Program Rumah Subsidi buat Wartawan!

Ilustrasi: desain rumah bersubsidi

Pelita Aceh.co.id | Jakarta – Belum lama ini, pemerintah berencana untuk menyalurkan 1.000 rumah subsidi untuk wartawan. Hal ini dilakukan atas kerja sama antara Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), BPS, Tapera dan BTN, dengan menggunakan skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan).

Berbagai asosiasi wartawan, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), serta Pewarta Foto Indonesia (PFI), menolak program tersebut.

Mereka menilai, FLPP ini sebenarnya bisa diakses oleh warga negara yang memenuhi persyaratan. Persyaratan itu di antaranya belum memiliki rumah, penghasilan maksimal Rp 7 juta (lajang) atau Rp 8 juta (mereka yang berkeluarga). Bunganya ditetapkan 5 persen fix dan uang muka 1 persen dari harga rumah.

Meskipun Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyatakan program ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan wartawan, bukan alat politik atau upaya meredam kritik, wartawan mendapatkan keistimewaan atau jalur khusus untuk memperoleh program kredit rumah ini. Sementara itu, program ini tidak ada hubungannya dengan tugas pers atau jurnalistik.

Memberi jalur khusus kepada wartawan untuk mendapatkan program rumah subsidi akan memberi kesan buruk pada profesi wartawan, seolah patut diistimewakan. Sementara golongan profesi lain harus memperebutkan program rumah bersubsidi ini lewat jalur normal.

“Subsidi rumah mestinya bukan berdasarkan profesi tapi untuk warga yang membutuhkan dengan kategori penghasilan, apapun profesinya,” kata Ketua Umum PFI, Reno Esnir, dalam keterangannya, dikutip Rabu (16/4/2025).

Sementara itu, Ketua Umum AJI, Nany Afrida, menilai apabila wartawan mendapat kemudahan dalam membeli rumah subsidi dari Komdigi, dapat menimbulkan kesan yang kurang baik di mata publik, misalnya sudah tidak kritis lagi.

“Maka sebaiknya program ini dihentikan saja, biarlah teman-teman mendapatkan kredit lewat jalur normal seperti lewat Tapera atau bank,” katanya.

Wartawan sebagai warga negara memang membutuhkan rumah. Namun tidak hanya profesi itu saja yang membutuhkan rumah, semua warga negara apapun profesinya membutuhkan itu juga. Oleh karena itu, persyaratan kredit rumah harus berlaku untuk semua warga negara tanpa harus membedakan profesinya.

Menurutnya, akan lebih baik jika pemerintah fokus pada pengadaan rumah yang terjangkau oleh warga negara dan target 3 juta rumah benar terpenuhi. Jika pemerintah mau memperbaiki kesejahteraan jurnalis, seharusnya memastikan perusahaan media menjalankan UU Tenaga Kerja.

“Termasuk memastikan upah minimum jurnalis, memperbaiki ekosistem media dan menghormati kerja-kerja jurnalis,” kata Nany.

Sebab, jika upah wartawan layak, maka kredit rumah dengan mudah dapat dipenuhi.

Di sisi lain, Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya fokus bagaimana persyaratan kredit rumah terjangkau sampai ke semua lapisan masyarakat.

“IJTI mengucapkan terima kasih kepada pemerintah atas perhatian kepada jurnalis, tapi berharap pemerintah bisa membantu pers dengan berbagai regulasi yang bisa membangun ekosistem media dengan baik,” tuturnya.

Ia menyarankan, Dewan Pers tidak perlu terlibat dalam program tersebut. Sebab, Dewan Pers mandatnya lebih fokus pada jurnalistik, sementara program rumah subsidi untuk wartawan tidak terkait langsung dengan pers.

Wartawan memang membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Sebaiknya para wartawan memperoleh program kredit rumah bersubsidi lewat jalur normal, bersama-sama dengan warga negara yang lain. Selain itu, rumah adalah kebutuhan pokok yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *