Mualem, sebagai Gubernur Aceh, yang baru ditetapkan 9 Januari 2025, dihadapkan pada tantangan besar untuk mewujudkan harapan Wali Nanggroe, Malek Mahmud al-Haytar, terkait pelaksanaan kesepakatan damai yang berlandaskan MoU Helsinki.
Salah satu poin penting dari MoU tersebut adalah klausul yang menyatakan bahwa Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah dan laut teritorial Aceh.
Menariknya, situasi saat ini berkaitan dengan salah satu cadangan Migas di Blok Andaman yang terletak 12 mil dari lepas pantai Aceh, di mana kepemilikannya diklaim oleh SKK Migas.
Penting untuk menyadari konteks hukum dan ekonomi yang mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terkait pengelolaan sumber daya alam.
Pasca penandatangan MoU Helsinki, harapan masyarakat Aceh untuk mendapatkan lebih banyak penguasaan serta manfaat dari sumber daya alam semakin menggebu.
Namun, kenyataan informasi yang ada menunjukkan bahwa Blok Andaman, meskipun secara geografis dekat dengan Aceh, tidak dikelola oleh pemerintah daerah tetapi oleh SKK Migas—sebuah lembaga yang beroperasi di bawah pemerintahan pusat.
Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah: mampukah Mualem dan DPRA tidak hanya melobi pusat, tetapi juga menghadirkan argumen yang kuat untuk mengalihkan pengelolaan cadangan gas tersebut ke Aceh?
Tindakan melobi ini sangat kompleks dan membutuhkan strategi yang terencana.
Selain memiliki dukungan politik yang solid, mereka harus memahami sepenuhnya aspek teknis, legal, serta ekonomi dari pengelolaan sumber daya alam ini.
Keberhasilan dalam lobi tersebut sangat tergantung pada kekuatan posisi Mualem sebagai pemimpin Aceh dan keterlibatannya dalam jaringan politik tingkat nasional.
Mualem, dengan dukungan DPRA dan elemen-elemen masyarakat sipil, harus bisa menunjukkan betapa pentingnya penguasaan sumber daya alam ini untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Sebagai implimentasi perjanjian damai.
Penyampaian data konkret mengenai potensi ekonomi yang bisa diperoleh dan dampaknya bagi masyarakat lokal adalah salah satu strategi yang bisa digunakan untuk menarik perhatian pemerintah pusat.
Di samping itu, tantangan lain yang harus dihadapi adalah dinamika politik di Jakarta.
Ketidakpastian kebijakan energi nasional dan kepentingan bisnis yang terlibat dalam pengelolaan migas di Blok Andaman menjadi penghalang tersendiri.
Oleh karena itu, Mualem perlu membangun aliansi strategis dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pihak swasta (dunia internasional) yang berkepentingan dalam eksplorasi dan produksi migas.
Upaya Mualem untuk mewujudkan harapan Wali Nanggroe tidak hanya memerlukan keberanian dan komitmen yang tinggi, tetapi juga pendekatan yang cermat dan berbasis data.
Dengan adanya dukungan yang kuat dari masyarakat, aliansi dengan berbagai pihak, dan argumentasi yang jelas dan meyakinkan, terdapat kemungkinan yang lebih besar bagi Aceh untuk mendapatkan hak dan manfaat yang semestinya dari sumber daya alam yang ada di wilayah Aceh.
Jika semua faktor ini dapat dipadukan secara efektif, peluang Mualem untuk berhasil dalam misinya akan semakin terbuka lebar.[]