PELITA ACEH.CO.ID | JAKARTA – Mendikdasmen RI, Abdul Mu’ti menyampaikan tausiah dalam acara Tarhib Ramadan 1446 H di Gedung Utama Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih pada Senin (24/2).
Dalam tausiah tersebut, Abdul Mu’ti yang juga Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini mengajak umat Islam untuk menyambut bulan Ramadan dengan penuh suka cita dan persiapan yang matang, baik secara mental maupun spiritual.
Prof. Mu’ti menjelaskan bahwa kata “Tarhib” berasal dari bahasa Arab yang berarti menyambut dengan penuh kelapangan hati. “Marhaban ya Ramadan” mencerminkan sambutan penuh cinta dan kegembiraan dalam menyambut bulan yang penuh berkah ini.
Maka Tarhib Ramadan, menurut beliau, bukan hanya sebuah tradisi, tetapi juga langkah untuk menyiapkan diri agar lebih siap menjalani ibadah puasa dengan penuh kesungguhan.
Mu’ti menjelaskan, puasa merupakan kewajiban yang dimulai pada tahun kedua Hijriyah setelah Rasulullah SAW hijrah, sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 183. Ayat ini mengajak orang beriman untuk berpuasa agar mereka dapat mencapai tingkat ketakwaan yang lebih tinggi.
“Secara psikologis, ayat ini menyampaikan pesan panggilan khusus untuk orang beriman, yang harus disambut dengan kegembiraan dan antusiasme,” katanya.
Dari perspektif syariat, puasa adalah kewajiban yang hanya berlaku bagi mereka yang beriman. Menurut Prof. Mu’ti, kata “kutiba” dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah puasa adalah kewajiban yang harus diterima tanpa bisa ditawar.
Dengan demikian, puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjadi proses spiritual yang mengarah pada peningkatan kualitas takwa.
Guru Besar Bidang Pendidikan Agama Islam ini juga mengajak umat Islam untuk melihat puasa sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih besar. “Puasa bukan hanya ibadah pribadi, tetapi juga gerakan kolektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Dalam hal ini, bulan Ramadan menjadi momentum untuk mempererat hubungan antar sesama melalui berbagai aktivitas sosial yang positif.
Bulan Ramadan dan Makna-maknanya
Ramadan dikenal dengan sebutan “Syahrus Shiyam,” bulan puasa, yang hanya diwajibkan bagi orang beriman. Meskipun orang lain tidak makan dan minum, mereka tidak bisa disebut berpuasa jika tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan.
Selain itu, bulan Ramadan juga dikenal sebagai “Syahrul Maghfirah,” bulan pengampunan, di mana umat Islam diajak untuk memohon ampunan kepada Allah SWT.
Istilah lain bagi Ramadan adalah “Syahrul Quran,” bulan yang di dalamnya umat Islam memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Maka menurut Mu’ti, Tadarus Al-Qur’an menjadi salah satu amalan yang rutin dilakukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Selain itu, Ramadan juga merupakan “Syahrul Sadaqah,” bulan untuk meningkatkan amal sedekah, yang tidak hanya berupa uang, tetapi juga dalam bentuk perhatian sosial yang lebih luas.
“Ramadan juga disebut Syahrul Usra, bulan keluarga,” tambah Prof. Mu’ti. Ia mengingatkan bahwa bulan ini adalah kesempatan yang tepat untuk memperkuat komunikasi antar anggota keluarga, serta menciptakan suasana kebersamaan yang harmonis dalam keluarga dan masyarakat.
Sebagai bagian dari gerakan sosial, Ramadan juga menjadi momen untuk mendukung UMKM dan masyarakat sekitar, serta memperkuat solidaritas jamaah. Dengan demikian, bulan Ramadan tidak hanya menjadi ajang ibadah pribadi, tetapi juga gerakan kolektif yang membawa dampak positif bagi masyarakat secara luas.