“Investigasi mendalam tentang praktik media semu dan manipulasi anggaran”
—
PELITA ACEH.co.id | Aceh, 2025 — Di balik wajah media yang nampak aktif dan profesional, tersembunyi praktik bisnis yang menyalahgunakan profesi jurnalistik. Sekelompok individu yang dulunya dikenal sebagai wartawan, kini telah bertransformasi menjadi makelar proyek, dengan media sebagai kedok untuk mengakses dana publik dan proyek pemerintah.
Mereka yang disebut wartawan tua keladi ini bukan hanya mengelola media, tetapi juga memanfaatkan posisi mereka untuk meraup keuntungan finansial dengan cara yang jauh dari etika jurnalistik.
—
Media Semu dan Bisnis Iklan Tertutup
Di Aceh, fenomena ini semakin marak dengan berkembangnya media berbasis digital. Dengan hanya bermodal domain web murah dan hosting tahunan, sejumlah individu yang dahulu berkecimpung dalam dunia jurnalistik membangun perusahaan pers yang hanya ada di atas kertas. Mereka mendirikan badan hukum dan menyusun struktur redaksi fiktif, namun sebenarnya media mereka lebih mirip kantor palsu, hanya untuk numpang alamat. Terkadang, alamat redaksi mereka tercatat di pelosok pedalaman atau di rumah pribadi seseorang. Keberadaan fisik kantor mereka tidak ada, dan kegiatan mereka lebih mirip upaya untuk menciptakan kesan profesional semata.
Sertifikat kompetensi yang mereka dapatkan melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tak lebih dari alat untuk menambah kredibilitas palsu, sementara di baliknya, mereka menjalankan bisnis iklan yang tak pernah terdaftar secara resmi.
Dalam beberapa kasus, mereka bahkan melakukan penawaran jasa pemasangan iklan kepada instansi pemerintah, dengan tagihan yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.
Namun, bisnis mereka tak hanya berhenti di pemasangan iklan. Sejumlah individu ini juga terlibat dalam bisnis lain, seperti pemasangan baliho, calo pengadaan barang dan jasa, serta layanan event organizer yang tidak terdaftar.
Dalam beberapa kesempatan, mereka bahkan menawarkan jasa sebagai perantara untuk memperlancar proyek-proyek pemerintah, menjadikan mereka lebih mirip makelar ketimbang jurnalis yang seharusnya mengutamakan integritas.
Seorang pejabat humas di salah satu instansi pemerintah Aceh mengungkapkan rasa frustrasinya,
“Mereka sering menghubungi kami, menawarkan iklan, bahkan iklan yang tidak pernah kami minta. Kemudian mereka menekan untuk pembayaran, bahkan ketika tidak ada pengesahan atau relevansi. Ini merugikan anggaran pemerintah.”
—
Jurnalisme yang Dikorbankan untuk Keuntungan Pribadi
Bukan hanya iklan dan baliho yang menjadi sumber pendapatan mereka. Praktik bisnis lain yang melibatkan mereka termasuk pengadaan barang dan jasa, serta event organizer. Beberapa bahkan secara terang-terangan mengambil peran sebagai tenaga ahli atau konsultan kehumasan di berbagai dinas. Dengan begitu, mereka tidak hanya memanfaatkan media sebagai alat transaksi, tetapi juga memperluas jaringan mereka di dalam struktur pemerintahan.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana mereka memanfaatkan posisi mereka di organisasi pers untuk menekan pesaing. Dalam banyak kasus, mereka yang memiliki sertifikat kompetensi dari Dewan Pers sering menggunakan status tersebut sebagai alat tawar untuk menjatuhkan media atau wartawan lain yang lebih muda.
“Apa kamu sudah UKW? Media kamu sudah diverifikasi Dewan Pers?” menjadi pertanyaan umum yang dilontarkan kepada media yang lebih baru, meskipun sertifikat tersebut tidak lagi mencerminkan kualitas jurnalistik, melainkan hanya alat untuk mempertahankan kekuasaan dan akses ke anggaran.
—
Markas di Warung Kopi dan Tim Sukses yang Menyamar
Bagi mereka, kantor berita bukan lagi tempat untuk mengerjakan liputan, melainkan tempat untuk mengatur proyek dan mencari relasi politik. Di warung kopi sekitar Kuta Alam, yang berdekatan dengan berbagai dinas pemerintahan, mereka berkumpul untuk merencanakan proyek dan membahas proposal iklan. Mereka yang dulunya dikenal sebagai wartawan, kini lebih lihai dalam melobi pejabat dan memperjuangkan anggaran.
Dalam beberapa kasus, mereka bahkan terlibat dalam politik praktis, dengan menjadi bagian dari tim sukses calon kepala daerah. Pada Pilkada Aceh 2024, misalnya, mereka terang-terangan mendukung salah satu calon, bukan karena kedekatannya dengan isu publik, tetapi demi mengamankan anggaran dan fasilitas yang menguntungkan.
—
Menggenggam Adat, Menodai Laku
Ironisnya, beberapa dari mereka juga tercatat sebagai staf atau penasihat lembaga adat. Posisi ini memberi mereka legitimasi sosial yang kuat, meskipun mereka tidak melakukan pekerjaan yang substansial. Bahkan, beberapa dari mereka justru memanfaatkan status tersebut untuk mendapatkan anggaran melalui sumber daya adat, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat.
“Mereka datang dengan gaya elit, meminta anggaran, padahal mereka tidak melakukan pekerjaan yang layak,” ujar salah satu anggota lembaga adat yang enggan disebutkan namanya.
—
Mengubah Fokus: Dari Jurnalis ke Makelar Proyek
Ironisnya, meskipun mereka mengklaim sebagai wartawan, sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk melansir rilis pers dari humas pemerintah, TNI, dan Polri, daripada memperjuangkan nasib rakyat. Setiap hari mereka sibuk mengejar informasi untuk menyiapkan rilis pers yang disiapkan oleh instansi pemerintah atau lembaga militer, hanya untuk diterbitkan sebagai berita rutin tanpa adanya investigasi atau kedalaman.
Mereka tidak lagi berfokus pada pemberitaan yang mendalam, melainkan mencari peluang untuk menegosiasikan anggaran dan iklan. Ini menjadikan peran mereka lebih mirip makelar proyek daripada jurnalis sejati yang seharusnya mengutamakan kebenaran dan kepentingan publik.
—
Kesimpulan: Uang Haram di Balik Profesi Suci
Jurnalisme adalah profesi yang dibangun atas dasar nurani dan keberanian untuk mengungkap kebenaran. Namun, dalam praktik yang dilakukan oleh kelompok wartawan tua keladi ini, idealisme tersebut telah tergantikan dengan nafsu untuk mengakses uang dan kekuasaan.
Mereka menukar nilai-nilai etik jurnalistik dengan peluang bisnis, menggunakan media untuk meraup keuntungan pribadi dengan cara yang jauh dari transparansi dan integritas.
Dengan menggunakan kedok media dan sertifikat kompetensi sebagai senjata, mereka tidak hanya merusak kredibilitas profesi jurnalistik, tetapi juga merugikan anggaran publik.
Mereka mengumpulkan uang dengan cara yang tidak sah, tetapi tanpa rasa bersalah, seakan lupa bahwa mereka sedang mengkhianati profesi yang pernah mereka junjung tinggi.
Di atas kertas, mereka adalah wartawan. Namun dalam praktiknya, mereka hanyalah pedagang yang menyamar sebagai pengabdi kebenaran.
—
Eri Iskandar
Investigasi mendalam dan kritik profesi, April 2025
Disclaimer: Tulisan ini adalah karya naratif berbasis isu aktual dan fenomena etis dalam dunia jurnalistik. Segala kemiripan dengan individu atau peristiwa nyata hanyalah kebetulan semata.