Dari Pejabat Basah ke Media Sampah: Jejak Busuk Wartawan Pencari Jatah

Gambar: Ilustrasi

Pelita Aceh.co.id | Jakarta — Reputasi seorang pria berinisial SO, mantan pejabat eselon yang pernah berpengaruh di salah satu instansi pengelola anggaran publikasi, kini berada di ujung tanduk dalam pandangan sebagian insan pers.

Pasca pensiun, SO mencoba peruntungan baru dengan mendirikan sebuah media daring yang ia kelola dari rumahnya sendiri. Namun, langkah itu tak serta-merta menjadikannya pelopor kebebasan pers. Justru sebaliknya, banyak pihak menilai media tersebut hadir sebagai saluran jurnalisme pelampiasan—penuh ancaman, kritik sepihak, dan nuansa pribadi yang kental.

“Bukan sekadar media, tapi cermin kekecewaan yang dibungkus berita,” ujar seorang pemilik media lokal, Kamis, 10 April 2025.

Saat masih aktif sebagai pejabat, SO dikenal sebagai figur yang menguasai distribusi anggaran iklan dan kerja sama publikasi bernilai besar. Akses ke program tersebut tak mudah, dan banyak yang menyebutnya sarat syarat tak tertulis. Kini, setelah tak lagi punya kewenangan formal, ia mencoba menghidupkan kembali pola-pola itu lewat media pribadi.

Dengan akta notaris dan stempel redaksi, SO menjadi pemimpin redaksi tunggal. Ia menulis sendiri, menyunting sendiri, bahkan mencetak kartu pers dan menyebarkan konten sendiri. Namun, media yang ia bangun justru mendapat sorotan dari sejumlah jurnalis profesional karena dianggap menyebarkan narasi yang sarat bias dan tidak melalui standar kerja jurnalistik yang sehat.

Ketika beberapa media lain menolak bekerja sama dengan model transaksional, tudingan miring justru datang dari arah SO. Ia menyebut mereka sebagai “abal-abal”, “partisan”, hingga “tidak layak baca”. Namun label itu dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk serangan balik karena kepentingan pribadi tidak dipenuhi.

“Media ini menulis bukan untuk publik, tapi untuk tekanan,” kata seorang wartawan muda yang merasa pernah menjadi target pemberitaannya.

Pemberitaan yang diterbitkan media SO sering kali tak melalui proses konfirmasi yang memadai. Bahkan pernah memuat klaim sepihak tentang pergantian pimpinan partai politik besar di daerah. Setelah diprotes keras, berita itu dihapus tanpa klarifikasi ataupun permintaan maaf. Hal ini memperkuat kesan bahwa media tersebut dijalankan dengan pendekatan yang mengabaikan etika dan kaidah dasar jurnalistik.

Lebih dari itu, beberapa media yang kerap mengutip atau menyebarkan narasi dari SO juga mulai dipertanyakan. Mereka diduga menjadi bagian dari jaringan tekanan terhadap media lain, terutama yang tak memberi ruang atau anggaran. Ketika gagal ‘masuk’, maka narasi bergeser: dari kerja sama menjadi tudingan KKN.

Tak berhenti di situ, kelompok ini kini mulai masuk ke bisnis promosi visual, seperti baliho dan spanduk. Proyek-proyek besar, termasuk kegiatan berskala nasional seperti PON Aceh, menjadi ladang baru. Sebagian besar media mereka bungkam soal isu-isu negatif, bukan karena tak ada masalah, tapi karena sebagian anggaran promosi sudah mengalir ke mereka.

“Kalau mereka tidak dapat jatah, suara mereka akan berubah bising. Tapi begitu kenyang, kritik hilang,” ujar seorang jurnalis senior.

Fenomena ini menunjukkan luka lama dunia pers yang belum kunjung sembuh. Ketika ruang redaksi dikuasai oleh eks pejabat kecewa dan jurnalis uzur yang masih lapar kuasa, maka yang lahir bukan berita, tapi sampah informasi yang dibungkus sebagai kebenaran.

Dan dalam situasi itu, publik kembali menjadi korban. Mereka dijejali narasi-narasi penuh bias, opini tanpa dasar, dan laporan yang lebih mirip pamflet tekanan daripada produk jurnalistik.

Tak heran jika belakangan, sejumlah jurnalis menjulukinya dengan nama baru: Spesialis Olah—bukan dalam arti investigatif, melainkan mengolah data mentah menjadi narasi penuh dendam.

(EI)

Disclaimer: Tulisan ini adalah karya naratif berbasis isu aktual dan fenomena etis dalam dunia jurnalistik. Segala kemiripan dengan individu atau peristiwa nyata hanyalah kebetulan semata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *