Pawang Hutan, Pemburu Pokir Media: Miliaran Uang Negara Lenyap

Ilustrasi

Ia masih tercatat sebagai pawang hutan. Bukan masa lalu, tapi status resmi hari ini—pegawai pemerintah lewat jalur P3K, digaji negara untuk menjaga hutan. Namun, di balik seragam dinas, ia hidup sebagai pemburu pokir media: membidik anggaran publikasi, menebar invoice fiktif, dan memanen miliaran rupiah lewat skema media siluman.

Kawannya lebih lihai. Lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW), memegang kartu pers dan rompi peliputan. Tapi bukan berita yang mereka buru, melainkan kontrak kerja sama dan jatah publikasi. Duet maut: satu punya status pegawai, satu lagi legalitas pers. Bersama mereka menyusuri lorong-lorong kekuasaan, dari ruang dewan ke meja biro umum, mencatut nama pejabat, menyodorkan proposal, dan memutar berita sesuai proyek.

Media mereka? Tak punya aktivitas redaksi. Kantornya hanya tempelan: cukup papan nama dan meja kosong. Tak ada wartawan tetap, tak ada liputan, tak ada agenda editorial. Semuanya formalitas untuk menampakkan “legalitas”. Bahkan nama-nama dalam struktur redaksi banyak yang dicatut: ada yang hanya dipinjam KTP-nya, ada pula yang tidak tahu namanya masuk dalam badan hukum pers.

Box Redaksi Asal Catut

Di dalam box redaksi—yang lebih mirip dengan kotak kosong tempat menampung nama dan jabatan—terdapat satu lagi manipulasi. Struktur yang tertera di media ini adalah kombinasi nama-nama fiktif dan mereka yang tidak tahu menahu. Ada yang hanya dipinjamkan identitasnya, ada pula yang tidak pernah diminta izin. Nama-nama tersebut ditempatkan dalam posisi yang terlihat prestisius untuk memenuhi syarat legalitas dan agar bisa lolos verifikasi Dewan Pers.

Tentu saja, aktivitas redaksional tak pernah terjadi di balik nama-nama tersebut. Tidak ada rapat editorial, tidak ada riset atau liputan. Box redaksi ini bukan untuk menjalankan fungsi jurnalistik, melainkan untuk memenuhi syarat administratif semata. Mereka tahu bahwa dengan struktur ini, mereka bisa mengakses anggaran publikasi pemerintah dan menyulap media palsu menjadi alat untuk meraup dana negara.

Mengklaim Iklan dan Pembayaran Fiktif

Satu ketika, aksi mereka semakin menggila. Tanpa segan, mereka mulai mengklaim iklan yang tayang di media lain dengan nilai miliaran rupiah. Padahal, mereka tidak pernah melakukan kegiatan tersebut. Pembayaran iklan itu, yang semestinya disalurkan ke media yang bersangkutan, justru mereka arahkan ke rekening media palsu mereka. Dengan begitu, mereka dapat menikmati aliran uang negara yang seharusnya dipergunakan untuk kegiatan publikasi yang sah.

Ketika ditemukan adanya kejanggalan dan dilakukan pemeriksaan lebih mendalam, mereka mulai kutar katir—berusaha menyamarkan jejak-jejak mereka dengan menciptakan perjanjian kerja sama fiktif. Surat-surat perjanjian ini, meskipun tak memiliki dasar hukum yang sah, ditujukan untuk menutupi tindakan penipuan mereka. Kontrak-kontrak yang mereka buat pun tak lebih dari sekadar alat untuk melindungi diri dari tuduhan, meski kenyataannya mereka tidak pernah melaksanakan kewajiban yang tercantum di dalamnya.

Berlindung di Balik Isu Primordial Asoe Lhok

Di balik semua itu, mereka tidak segan untuk berlindung di balik isu primordial Asoe Lhok. Dengan memanfaatkan kedekatan daerah asal dan identitas kulturalnya, mereka membangun citra sebagai “pembela” dan “pejuang” lokal. Isu Asoe Lhok digunakan untuk menyentuh emosi dan mendapatkan simpati dari pihak-pihak yang merasa terikat pada kearifan lokal, meskipun dalam kenyataannya mereka hanya mengeksploitasi nama tersebut untuk menutupi praktik manipulasi mereka. “Orang Asoe Lhok harus diberdayakan” jadi jargon yang sering mereka ucapkan, padahal tujuannya hanya untuk menutupi kepentingan pribadi dan jaringan yang mereka bangun.

Modusnya berlapis: suap untuk akses anggaran, gertak agar diberi jatah, meras dengan ancaman pemberitaan buruk, tipu lewat laporan fiktif, olah administrasi dengan kuitansi palsu. Tak hanya menipu negara, tapi juga mencoreng profesi.

Pawang Hutan TKR: Pemburu Pokir yang Diperalat ZR

Salah satu pawang hutan yang terlibat dalam membobol anggaran iklan miliaran rupiah itu berinisial TKR, yang lebih dikenal dengan nama panggilan “Pok Pok Wo”. TKR, yang seharusnya berfokus pada tugas menjaga hutan, malah terjebak dalam praktik ilegal ini, menjadi bagian dari permainan besar yang dikuasai oleh sesama pawang hutan berinisial ZR.

ZR adalah tokoh yang diduga menjadi otak di balik manipulasi anggaran dan pengelolaan media palsu ini. Dikenal cerdik dalam mencari celah, ZR memperalat TKR untuk melakukan sejumlah transaksi dan klaim yang merugikan negara. TKR, yang mungkin tidak menyadari sepenuhnya besarnya dampak dari tindakannya, terjebak dalam permainan yang berbahaya ini. ZR menggunakan posisi TKR untuk menjangkau anggaran publikasi dan menutupi jejak mereka.

Kini, meskipun ada penyelidikan lebih lanjut, TKR dan ZR masih beroperasi dalam jaringan yang sama, terus memanfaatkan celah-celah administrasi untuk mengakses dana negara. Aksi mereka mungkin telah tercium oleh BPKP, namun praktik ini masih berlangsung—meskipun sedikit lebih hati-hati dalam langkah-langkah mereka.

Masih Beroperasi Hingga Kini

Ini bukan kisah lalu. Ini kenyataan hari ini. Mereka masih aktif. Media-media palsunya masih tayang. Rekening mereka masih menampung dana publikasi. Para aparat yang seharusnya bertindak, justru banyak yang tutup mata. Pejabat yang mungkin tahu, tetap diam. Negara terus bocor di tangan para pawang hutan yang berubah menjadi penggarap dana pokir atas nama media. (EI/AB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *