OPINI  

Satu Wartawan, Satu Media: Negeri Pers yang Lahir dari Printer dan Pokir

Ilustrasi pokir bikin oke

Oleh:  Eri Iskandar

Di suatu negeri yang dulu dihormati karena pena tajam dan nurani yang suci, kini pers dilahirkan bukan dari idealisme, tapi dari slot anggaran dan proposal cetak kilat. Kantor redaksi cukup meja pinjaman dan kopi sachet. Pemimpinnya? Seorang wartawan sekaligus direktur, redaktur, dan kurir iklan. Namanya tercetak indah di kop surat, lengkap dengan stempel basah yang hanya dibutuhkan saat musim-musim pokir menetes ke desa-desa.

Fenomena “satu wartawan sampai seribu media” bukan lagi ironi, tapi realita. Namun yang tidak boleh berubah adalah idealisme jurnalistik, baca buku 9 elemen jurnalisme ya?

Di negeri ini, bekas pencari sedekah kini jadi pemilik pers, sales herbal menjelma pewarta utama, dan mantan teknisi televisi tabung memimpin rapat redaksi—di grup WhatsApp. Mereka semua punya satu kesamaan: sertifikat UKW yang kini tak ubahnya jimat sakti, cukup ditunjukkan ke dinas, dan lembaran rupiah pun berpindah tangan.

Tak perlu idealisme, tak perlu ruwet-ruwet belajar kode etik. Cukup paham cara mengedit template berita, tahu siapa kepala dinas, dan mengerti kapan pokir cair. Jurnalisme bukan lagi alat kontrol sosial, melainkan tiket masuk ruang kas bendahara. Tak ada niat menyuarakan yang bisu, membela yang tertindas. Mereka lebih sibuk memburu siapa yang belum memasang iklan.

Redaksi kini cukup satu orang. Ia menulis, ia menyunting, ia mengirim invoice. Kadang ia mengancam dengan berita, kadang ia menjilat dengan puja-puji. Ia wartawan pada Senin, pengusaha pada Selasa, dan mediator pokir pada Rabu. Pada Kamis, ia mungkin sedang belanja dari sisa dana publikasi.

Dan jangan lupa para “pemodal diam-diam”. Pawang hutan, anggota dewan, kini bersembunyi di balik nama media. Mereka menitip struktur, menyiapkan proposal, lalu mengatur siapa yang harus diliput dan siapa yang cukup dikabarkan lewat press release. Maka lahirlah media-media dadakan, seperti jamur tumbuh di kubangan etik yang membusuk.

Sudah saatnya dunia pers membersihkan dirinya sendiri. Wartawan yang sejati tak akan menjual berita demi amplop, tak akan mendirikan media hanya demi stempel, dan tak akan menggadaikan idealisme demi makan malam bersama pejabat.

Kita harus berani berkata: ini bukan lagi kebebasan pers—ini kebebasan menodai pers. Dan perilaku semacam ini bukan sekadar menyimpang, tapi jahat. Ia menghancurkan kepercayaan publik, mempermainkan anggaran negara, dan mencemari profesi mulia yang dahulu dibangun di atas air mata dan tinta perjuangan.

Saatnya dibasmi. Jangan hanya dibina. Pers bukan ladang, bukan lapak, bukan tempat nebeng bagi mereka yang gagal di profesi lain. Pers adalah suara nurani publik. Jika itu dijadikan kedok dagang, maka kita tak butuh lagi wartawan—cukup agen marketing yang tahu menulis. (Penulis: Pengamat Pers)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *