Tak semua yang bercahaya dari tanah syariat itu mencerminkan nurani. Di balik sibuknya ruang-ruang dewan dan kabupaten, muncul sejenis makhluk unik dalam dunia jurnalistik: Jurnalis pokir minim karya, disingkat “JUPIKAR”.
Mereka bukan sekadar jurnalis—mereka evolusi dari liputan ke lobi, dari narasi ke negosiasi. Kantor dewan jadi tempat mangkal, bukan mencari berita, melainkan membisikkan permintaan. Ada yang dijuluki TB (Tukang Bisik), TP (Tukang Provokasi), TJ (Tukang Jilat-jilat), hingga PB (Pura-pura Bela agar tampak pahlawan).
Dan bila tak kebagian, muncul TG—Tukang Ganggu. Mereka mulai bermain kata, merusak suasana, bahkan menyodorkan gosip panas ke aparat demi menjatuhkan kawan yang kebagian jatah lebih dulu.
Satu kasta lagi: TR—Tukang Rilis. Modalnya cuma copy-paste dari grup WhatsApp, tanpa edit, tanpa verifikasi. Asal bisa naik tayang, bisa diklaim sebagai kerja jurnalistik.
Mereka ini kerap menyandang label “SSO”—bukan gelar akademik, tapi julukan: Si Spesialis Olah. Olah memo, olah proposal, olah citra diri, sampai olah nama teman demi tenderan pribadi. Tak jarang pula disebut TS—kadang artinya Tim Sukses, kadang Tukang Selingkuh. Dua-duanya multitugas.
Banyak JUPIKAR dulunya pejabat, PNS, pawang hutan, pencari sumbangan, atau sekadar tukang selip proposal. Setelah pensiun, mereka buat media sendiri, dengan struktur redaksi yang ajaib: direktur, pemred, wartawan, hingga bagian sirkulasi, semua satu orang. Bahkan cetak ID card sendiri, tanda tangan sendiri, lengkap dengan logo sendiri—kadang mereknya mirip nama obat kuat ternama. Biar mudah diingat dan dianggap manjur saat lobi anggaran.
Ada juga yang lihai memanfaatkan status “wartawan bersertifikat”—lulus dari lembaga uji kompetensi, meski ujiannya sendiri dijuluki “Uka-Uka”, saking mistisnya proses dan hasilnya. Beberapa ikut sungguhan, sebagian menunggu giliran, dan banyak pula yang belum ikut tapi sudah sibuk pesan jas almamater—menunggu pokir cair dulu, baru daftar ujian.
Mereka aktif bukan di ruang redaksi, tapi di lorong dewan. Bukan meliput rapat, melainkan menyelinap di sela anggaran. Bila perlu, tembus sekda, colek bupati, dan dekati gubernur. Karena di dunia mereka, memo kepala daerah jauh lebih ampuh dari kode etik jurnalistik.
Mereka berebut anggaran publikasi, iklan, dan dana hibah. Bahkan wartawan sungguhan pun ikut terjebak, ikut-ikutan lobi demi bertahan hidup. Kantor media direnovasi pakai proposal, perjalanan liputan dimasukkan ke APBK. Semua jadi bisnis, bukan lagi misi.
Proyek yang digarap JUPIKAR pun makin variatif: dari westafel sekolah, hibah KONI, hingga proyek rehab kantor wartawan. Semua ada, asal proposal muat logo media dan foto bersama pejabat.
Sementara itu, suara kritis datang dari media-media yang masih mencoba idealis. Seperti diberitakan PelitaAceh.co.id awal April lalu, ada kekacauan besar di balik dunia “pers bersertifikat”, bahkan sampai ke dana hibah Rp6 miliar untuk panitia uji kompetensi. Isunya? Tentu saja cash back. Jadi kalau kompetensi saja bisa dibarter, bagaimana nasib kode etik?
Kini, Serambi Mekkah bukan hanya basah oleh hujan berkah, tapi juga banjir oleh “JUPIKAR”—yang makin hari makin canggih olah kata, olah anggaran, dan olah diri. Mereka pantas dicatat dalam sejarah sebagai kaum tua-tua keladi: semakin tua, semakin lihai mengolah. (EI) bye
Disclaimer:
Tulisan ini sindiran. Bila tersinggung, mungkin Anda bagian dari yang disindir.