▪︎ Kata pers secara etimologis berasal dari bahasa Belanda persen dan dari bahasa Inggris to press*
–
Pers, katanya, adalah pilar keempat demokrasi. Pengawal kebenaran, penjaga nurani publik, dan pengontrol kekuasaan yang tak pernah lelah menyorot kebijakan, membongkar kepalsuan, dan menguliti kesalahan siapa pun yang menyimpang.
Tapi belakangan, kita saksikan satu pemandangan aneh: ketika mikrofon dibalikkan arah, ketika sorotan diarahkan ke tubuh pers sendiri—khususnya ke oknum-oknum jurnalis yang menyalahgunakan profesi demi kepentingan pribadi—yang muncul bukan sikap dewasa atau terbuka, melainkan kemarahan luar biasa. Mencak-mencak. Seperti kucing tersiram air panas.
Sebagian dari kita sangat gagah saat mengkritik polisi. Begitu berani membedah keputusan TNI. Begitu lantang membongkar kelemahan pemerintah. Begitu semangat menguliti jaksa dan hakim. Singkatnya, sangat piawai memainkan peran pengawas dalam lanskap trias politika.
Namun ironisnya, ketika ada pihak lain yang mencoba menguliti balik—mengkritik perilaku sebagian oknum jurnalis, mempertanyakan integritas perusahaan media yang didirikan hanya untuk mengejar anggaran publikasi—reaksinya seperti bukan dari kaum pers yang katanya matang secara intelektual. Bukan menjawab dengan argumen. Bukan berdialog. Tapi malah mencari-cari kesalahan lawan bicara, menyebar fitnah, bahkan—dalam beberapa kasus—melontarkan ancaman terselubung.
Lucu, sekaligus memalukan.
Kenapa?
Apakah jurnalis merasa dirinya maksum? Apakah media merasa suci dan tak boleh disentuh?
Ingat, kita bukan Tuhan. Kita bukan makhluk langit. Kita bukan pemilik kebenaran mutlak. Kita hanyalah manusia dengan pena dan akal sehat—yang bisa benar, bisa juga keliru.
PelitaAceh.co.id baru-baru ini menjadi sasaran kemarahan setelah menerbitkan sorotan kritis tentang fenomena perusahaan pers semu, struktur redaksi fiktif, serta tabiat sebagian jurnalis bersertifikat yang mendirikan media hanya demi mengejar aliran dana publikasi dari APBK dan APBA. Bukannya menjawab substansi tulisan, yang muncul justru serangan balik yang tidak elegan: intimidasi halus, perundungan personal, dan upaya delegitimasi.
Beginikah wajah pers hari ini? Terlihat kuat saat menekan ke luar, tapi rapuh saat disentuh dari dalam?
Kalau kita boleh menguliti orang lain, mengapa tidak rela dikuliti? Kalau kita bisa bersikap tajam dan berani terhadap kekuasaan, mengapa gemetar ketika sorotan diarahkan ke halaman belakang kita sendiri?
Kalau kritik dianggap sebagai gangguan, maka kita telah mengingkari prinsip dasar jurnalisme. Dan kalau sesama jurnalis saling membungkam, maka yang kita bangun bukan kebebasan pers, tapi kerajaan gengsi yang penuh tipu daya.
Jurnalisme bukan alat untuk menjual citra. Ia adalah cermin bagi publik. Dan sebelum kita sibuk mencerminkan wajah orang lain, sebaiknya kita berkaca dulu: apakah kaca kita sendiri bersih?
Kami di PelitaAceh.co.id teguh berdiri pada prinsip: kritik tidak boleh hanya keluar, tapi juga harus masuk. Etika tidak hanya dituntut dari narasumber, tapi juga dari pewarta. Profesionalisme tidak hanya diukur dari kartu sertifikasi, tapi dari keberanian menerima kenyataan.
Kami percaya, jurnalis sejati tak akan lari dari kritik. Ia justru tumbuh karena diuji. Ia tidak mencari perlindungan dari sorotan. Ia justru menjadikan sorotan sebagai cahaya untuk memperbaiki diri.
Kepada rekan-rekan sejawat:
Kalau disorot, jangan mencak-mencak.
Kalau dikritik, jangan lari.
Kalau merasa terganggu, mari berdialog.
Kalau merasa benar, buktikan dengan argumen.
Bukan dengan gertakan.
Sebab, yang membuat pers dihormati bukan hanya karena ia bersuara keras, tapi karena ia mampu mendengar dengan jernih. Bukan hanya karena ia berani mengkritik, tapi karena ia juga siap dikritik.
Dan sejarah pers tidak pernah mencatat mereka yang hanya bisa marah. Tapi mereka yang mampu bercermin. (***)
Disclaimer: Tulisan ini adalah karya naratif berbasis isu aktual dan fenomena etis dalam dunia jurnalistik. Segala kemiripan dengan individu atau peristiwa nyata hanyalah kebetulan semata.