Di tengah gemuruh politik anggaran yang menderu dan arus media yang terbuai oleh kekuasaan, kami di PelitaAceh.co.id tahu bahwa kami kecil, nyaris tak terdengar. Kami memilih untuk tidak melangkah di jalan besar yang dipenuhi jejak kaki penjilat. Kami hadir di sini, bukan untuk menjadi besar dengan merunduk. Kami ada untuk berbicara keras, meski suara kami seringkali tenggelam dalam hiruk pikuk—karena suara kami, sejak pertama kali dimulai, tidak akan pernah dibeli.
Apa yang kami soroti bukan hanya gerak-gerik kekuasaan. Itu sudah biasa. Yang lebih memprihatinkan, yang lebih mengerikan adalah—media sendiri. Wartawan yang seharusnya menjadi mata dan telinga rakyat, kini menjadi mulut yang menyalakan api bagi siapa saja yang bisa membayar. Redaksi bukan lagi penangkal kebohongan, melainkan agen proposal, pedagang berita, penjual prinsip. Pers, perlahan tapi pasti, kehilangan karakter dan mengaburkan misinya.
Selama dua pekan terakhir, PelitaAceh.co.id menyuguhkan laporan yang bukan hasil dari gosip atau bualan semata. Semua yang kami ungkapkan adalah fakta—hasil dari pengamatan mendalam selama dua tahun terakhir. Kami tidak hanya mendengarkan kabar burung, kami memantau mereka. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri—bagaimana oknum-oknum wartawan menghabiskan hari mereka bukan untuk meliput, tapi untuk melobi, untuk menagih fee, untuk menyusun cerita yang hanya punya satu tujuan: uang. Kami diam, kami mencatat, kami menyusun fakta—dengan penuh tanggung jawab, meski kadang tak seorang pun yang peduli.
Tapi tahukah kalian? Setelah mereka meraup hasil besar dari kesepakatan yang terjalin, mereka kembali ke warung kopi, tempat mereka menggelar “rapat redaksi.” Di sana, mereka tidak membahas berita atau kebenaran. Tidak. Mereka hanya membicarakan fee dari iklan yang dilobi, tentang pembagian anggaran yang telah disepakati. Semua ideologi, semua integritas, semuanya dipatok dengan harga. Semakin besar iklan, semakin jauh mereka dari kebenaran.
Duduk seorang diri, dihardik, diolok, dan dihina—mereka tak tahu bahwa kami sudah memantau mereka bertahun-tahun. Dari era “kejar amplop,” hingga “kejar pariwara.” Dari makan gratis di setiap acara sampai iklan pokir yang mencapai ratusan juta. Semua terekam, tak terlewatkan—kami menonton mereka. Kami mendengar setiap lelucon mereka tentang etika. Kami mendengarkan obrolan mereka yang berbau uang, yang tak pernah membicarakan apa yang seharusnya mereka perjuangkan. Kami catat semuanya, kami lihat semuanya. Kami tahu persis apa yang mereka lakukan di balik layar.
Kami bukan malaikat. Kami tidak sempurna. Tapi kami percaya, jika pers sudah mulai menggunakan amplop sebagai kompas, maka yang rusak bukan hanya satu-dua media, melainkan seluruh sistem demokrasi itu sendiri.
Setiap hari, kami menerima sindiran. Setiap hari, kami dihina. Setiap hari kami diserang. Kami tahu—kami hanyalah sekumpulan orang gila yang masih mempertahankan idealisme di tengah arus besar pragmatisme. Tapi kami tidak pernah goyah. Tekad kami tetap satu: amar makruf nahi mungkar—menyeru kepada yang benar dan mencegah yang salah, meskipun jalan ini penuh hambatan, cacian, dan kebencian.
Aceh adalah negeri para aulia, negeri syariat Islam yang seharusnya penuh berkah. Tanah yang subur, yang menjanjikan kemakmuran. Tapi lihatlah—rakyatnya terjepit dalam penderitaan. Kenapa bisa begitu? Karena bukan hanya trias politika yang berselingkuh dari amanat rakyat—pers pun ikut menikmati bagian dari pembagian jatah itu.
Kami tidak menuding. Kami hanya mengingatkan. Jika semua pihak dalam demokrasi saling menjaga, maka pers seharusnya menjadi penjaga utama. Bukan penjilat. Bukan pedagang etika. Bukan penukar berita dengan uang publik.
PelitaAceh.co.id akan tetap berjalan di jalur yang kami yakini benar. Meskipun kami kecil, kami tetap menjadi pelita yang menyala, meski di tengah gelapnya malam. Kami akan terus menulis, mengungkap, dan menyuarakan kebenaran, meski kami hanya bisa berbicara di ruang sunyi ini.
Karena kami percaya, menjaga marwah pers adalah menjaga marwah rakyat. Dan lebih dari itu, menjaga marwah kebenaran. (Redaksi)